Saya pernah mendengar bahwa ada orang-orang yang mengatakan liturgi
di Gereja Katolik itu ‘membosankan’. Katanya lagu-lagunya itu-itu saja,
kurang bersemangat dan kurang berkesan. Apa iya, demikian
halnya? Sebelum berkomentar, mari kita lihat dulu apa sebenarnya arti
liturgi di dalam Gereja Katolik. Lalu, setelah itu baru kita tilik
kembali komentar itu. Sebab, jangan-jangan masalahnya bukan pada
liturgi-nya tetapi pada diri si penerima. Ibaratnya, “kesalahan bukan
pada stasiun pemancar radio, tetapi pada antena anda.” Walaupun
demikian, mari kita lihat juga apa yang perlu kita lakukan supaya kita
dapat menghayati liturgi dan menjadikannya bagian dari diri kita, supaya
kita tidak sampai bosan. Ini adalah bentuk “perbaikan antena” sehingga
radio kita dapat menangkap sinyal dengan lebih baik.
Telah kita ketahui bahwa sakramen adalah penghadiran Misteri Kristus (lihat artikel: Sakramen: Apa pentingnya dalam kehidupan iman kita?).
Di dalam liturgi, Gereja merayakan Misteri Paskah Kristus yaitu
sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga- yang membawa
kita kepada Keselamatan. ((Lihat Sacrosanctum Concilium,
Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci, 5, dan Katekismus Gereja
Katolik 1067, 1068.)) Dengan merayakan Misteri Kristus ini, kita
memperingati dan merayakan bagaimana Allah Bapa telah memenuhi janji dan
menyingkapkan rencana keselamatan-Nya dengan menyerahkan Yesus
Putera-Nya oleh kuasa Roh Kudus untuk menyelamatkan dunia. ((Lihat KGK
1066.)) Jadi sumber dan tujuan liturgi adalah Allah sendiri.
Katekismus Gereja Katolik menjabarkan tentang liturgi sebagai karya Allah dengan mengutip surat Rasul Paulus, demikian:
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang
dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di
dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia
dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam
kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk
menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya
terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada
kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.” (Ef 1:3-6) ((Lihat KGK 1077))
Maka “berkat rohani” merupakan karya Allah. Sumber dari segala
berkat rohani ini adalah Allah Bapa, berkat ini dicurahkan kepada kita
di dalam Kristus, oleh kuasa Roh Kudus. Sejak awal mula Allah telah
memberkati mahluk ciptaan-Nya, secara khusus umat manusia ((lih. KGK
1080)). Dalam liturgi inilah berkat rohani surgawi dicurahkan kepada
kita. Dan karena berkat rohani dari Allah yang terbesar adalah karya
keselamatan Allah yang dilaksanakan oleh Kristus dan di dalam Kristus,
maka karya keselamatan Allah itulah yang dihadirkan kembali di tengah
Gereja dalam liturgi, oleh kuasa Roh Kudus.
Liturgi pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah perkembangan Gereja, liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya keselamatan Allah.
Di dalam liturgi, Kristus melanjutkan karya Keselamatan di dalam,
dengan dan melalui Gereja-Nya. ((Lihat KGK 1069.)) Pada jaman Gereja
awal seperti dijabarkan di dalam surat rasul Paulus, para pengikut
Kristus beribadah bersama di dalam liturgi (dikatakan sebagai “korban
dan ibadah iman” di dalam Flp 2:17). Termasuk di sini adalah pewartaan
Injil “(Rom 15:16); dan pelayanan kasih (2 Kor 9:12). Maka, dalam
Perjanjian Baru, kata ‘liturgi’ mencakup tiga hal, yaitu ibadat,
pewartaan dan pelayanan kasih yang merupakan partisipasi Gereja dalam
meneruskan tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. ((Lihat KGK
1070.))
Secara khusus, liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus
sebagai Imam Agung. Dalam hal ini, liturgi merupakan penyembahan Kristus
kepada Allah Bapa, namun dalam melakukan penyembahan ini, Kristus
melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja; sehingga liturgi merupakan karya bersama antara Kristus (Sang Kepala) dan Gereja (Tubuh Kristus). Konsili Vatikan II mengajarkan pengertian tentang liturgi sebagai berikut:
“Maka, benarlah bahwa liturgi dipandang
sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Di dalam liturgi, dengan
tanda-tanda lahiriah, pengudusan manusia dilambangkan dan dihasilkan
dengan cara yang layak bagi masing-masing tanda ini; di dalam Liturgi,
seluruh ibadat publik dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus,
yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu tidak ada kegiatan Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada liturgi ((Lihat KGK 1070, Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concillium,
7.)) karena di dalam liturgi terwujudlah persatuan yang begitu erat
antara Kristus dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-Nya dan Tubuh-Nya
sendiri.
Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi Suci, Mediator Dei, menjabarkan definisi liturgi sebagai berikut:
“Liturgi adalah ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus
kita sebagai Kepala Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang
dilakukan oleh komunitas umat beriman kepada Pendirinya [Kristus], dan
melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi adalah ibadat penyembahan
yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara keseluruhan, yaitu
Kepala dan anggota-anggotanya.” ((Paus Pius XII, Mediator Dei, 20))
Atau, dengan kata lain, definisi liturgi adalah seperti yang dirumuskan oleh Rm. Emanuel Martasudjita, Pr. dalam bukunya Liturgi,
yaitu: “Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah di
dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung,
bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.” ((Rm. Emanuel
Martasudjita, Pr., Liturgi, Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), p.22))
Alkitab mengatakan, “Terpujilah Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus
yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani
di dalam sorga. Sebab di dalam Dia, Allah telah memilih kita sebelum
dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.
Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus
untuk menjadi anak-anak-Nya sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya supaya
terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada
kita di dalam Dia yang dikasihi-Nya” (Ef 1:3-6). Dari sini kita
mengetahui bahwa Allah Bapalah yang memberikan rahmat sorgawi kepada kita, melalui Kristus dan di dalam Kristus.
Dan karena rahmat itu diberikan di dalam sakramen melalui liturgi, maka
sumber liturgi adalah Allah Bapa, dan tujuan liturgi adalah kemuliaan
Allah.
Karena Kristus telah bangkit mengalahkan maut, maka, Ia yang telah duduk di sisi kanan Allah Bapa, pada saat yang sama dapat terus mencurahkan Roh Kudus-Nya
kepada Tubuh-Nya, yaitu Gereja-Nya, melalui sakramen-sakramen. ((Lihat
KGK 1084)) Karena Yesus sendiri yang bertindak dengan kuasa Roh
Kudus-Nya, maka kita tidak perlu meragukan efeknya, karena pasti Kristus
mencapai maksud-Nya.
Puncak karya Kristus adalah Misteri Paska-Nya, maka Misteri Paska inilah yang dihadirkan di dalam liturgi Gereja. ((Lihat KGK 1085)) Jadi dalam liturgi, Misteri Paska yang sungguh-sungguh telah terjadi di masa lampau dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus.
Karena Kristus telah menang atas kuasa dosa dan maut, maka Misteri
Paska-Nya tidak berlalu begitu saja ditelan waktu, namun dapat
dihadirkan kembali oleh kuasa Ilahi, yang mengatasi segala tempat dan
waktu. Hal ini dilakukan Allah karena besar kasih-Nya kepada kita,
sehingga kita yang tidak hidup pada masa Yesus hidup di dunia dapat pula
mengambil bagian di dalam kejadian Misteri Paska Kristus dan menerima
buah penebusan-Nya. Katekismus mengajarkan, “Liturgi Kristen tidak hanya
mengingatkan kita akan peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan kita,
tetapi menghadirkannya juga. Misteri Paska Kristus dirayakan bukan diulangi; hanya perayaan-perayaan itu yang diulangi. Di dalam setiap perayaan terjadi curahan Roh Kudus yang membuat misteri yang terjadi hanya satu kali itu, menyata dalam waktu sekarang.” ((KGK 1104))
Kristus selalu hadir di dalam Gereja, terutama di dalam perayaan liturgi.
Pada perayaan Ekaristi/ Misa kudus, Kristus tidak hanya hadir di dalam
diri imam-Nya, namun juga di dalam wujud hosti kudus (lihat artikel: Sudahkah kita pahami arti Ekaristi?). Liturgi di dunia menjadi gambaran liturgi surgawi
di mana Yesus duduk di sisi kanan Allah Bapa, dan kita semua sebagai
anggota Gereja memuliakan Allah bersama seluruh isi surga. ((Lihat
Konsili Vatikan II, tentang Liturgi suci, Sacrosanctum Concilium, 8.))
Jika Roh Kudus bekerja di dalam diri seseorang, maka Ia akan
menggerakkan hati orang tersebut untuk bekerjasama dengan Allah. Kita
dapat melihat hal ini pada teladan Bunda Maria dan para Rasul. Demikian
halnya liturgi menjadi hasil kerjasama Roh Kudus dengan kita sebagai anggota Gereja.
((Lihat KGK 1091)) Kerjasama Roh Kudus dan Gereja ini menghadirkan
Kristus dan karya keselamatan-Nya di dalam liturgi, sehingga liturgi
bukan sekedar ‘kenangan’ akan Misteri Kristus, melainkan adalah
kehadiran Misteri Kristus yang satu-satunya itu. ((Lihat KGK 1099,
1104))
Peran Roh Kudus dinyatakan pada saat pembacaan Sabda Allah, karena
Roh Kudus menjadikan Sabda itu dapat diterima dan dilaksanakan di dalam
hidup umat. Kemudian Roh Kudus memberikan pengertian rohani terhadap
Sabda Tuhan itu, yang menghidupkan perkataan doa, tindakan dan
tanda-tanda lahiriah yang dipergunakan dalam liturgi, dan dengan
demikian Roh Kudus menghidupkan hubungan antara umat (beserta para imam)
dengan Kristus. ((Lihat KGK 1101,1102.)) Selanjutnya peran Roh Kudus
nyata saat konsekrasi, yaitu saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh
dan Darah Kristus. Di sinilah puncak perayaan Ekaristi terjadi, saat
Kristus berkenan menghadirkan Diri di tengah Gereja-Nya.
Oleh karena itu Sang Pelaku yang utama dalam liturgi adalah Kristus,
dan kita sebagai anggota Gereja mengambil bagian di dalam karya
keselamatan Allah yang dilakukan oleh Kristus itu. Dengan demikian bukan
kita pribadi yang dapat menentukan segala sesuatunya dalam liturgi
menurut kehendak sendiri, melainkan kita sepantasnya mengikuti apa yang
telah ditetapkan oleh Tuhan Yesus dalam perayaan tersebut, sebagaimana
yang telah dilakukan oleh para rasul dan diteruskan dengan setia oleh
para penerus mereka.
Yesus mengajak kita semua ikut mengambil bagian dalam karya
keselamatan-Nya, terutama dalam Misteri Paska-Nya yang dihadirkan
kembali di dalam Liturgi. Karena kuasa kasih dan kebangkitan-Nya,
Kristus memberikan kita kesempatan yang sama dengan
orang-orang yang hidup pada zaman Ia hidup di dunia 2000 tahun yang
lalu, yaitu menyaksikan dan ikut mengambil bagian dalam peristiwa yang
mendatangkan keselamatan kita, yaitu wafatNya di salib, kebangkitan-Nya
dan kenaikan-Nya ke surga. Secara khusus penghadiran Misteri Paska ini
nyata dalam Ekaristi, yang merupakan penghadiran kurban Kristus yang sama dan satu-satunya
itu oleh kuasa Roh Kudus. ((Kini Ekaristi diwujudkan sebagai kurban
yang tidak berdarah, karena Yesus telah menang atas maut, sehingga tidak
mungkin kurban Kristus yang satu-satunya itu dihadirkan kembali dengan
penumpahan darahNya seperti yang terjadi secara historis 2000 tahun yang
lalu.)) Kuasa Roh Kudus yang dulu menghadirkan Yesus dalam rahim Maria,
kini hadir untuk menghadirkan Yesus di altar. Kuasa Roh Kudus yang dulu
hadir pada hari Pentakosta kini hadir di dalam setiap perayaan
Ekaristi, untuk mengubah kita menjadi seperti para rasul, dipenuhi kasih
dan semangat yang berkobar untuk ikut serta melakukan
pekerjaan-pekerjaan Allah di dunia ini.
Jika kita menghayati kebenaran ini, kita seharusnya tidak bosan dan
mengantuk dalam mengikuti misa. Sebab jika demikian, kita seumpama
mereka yang hidup di jaman Yesus, hadir di bawah kaki salib Yesus,
tetapi malah melamun dan tidak mempunyai perhatian akan apa yang sedang
terjadi di hadapan mata mereka. Sungguh tragis, bukan? Memang Misteri
Paska itu tidak hadir persis secara fisik seperti 2000 tahun lalu, namun
secara rohani, Misteri Kristus yang sama dan satu-satunya itu hadir dan
membawa efek yang sama seperti pada 2000 tahun yang lalu. Betapa
dalamnya makna dari misteri ini, namun kita perlu menilik ke dalam hati
kita yang terdalam untuk melihatnya dengan mata rohani dan menghayatinya
dengan sikap tunduk dan kagum.
Bayangkan jika anda secara pribadi diundang pesta oleh Bapak
Presiden. Tentu anda akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya bukan? Anda
akan berpakaian yang sopan, bersikap yang pantas, mempersiapkan apa yang
akan anda bicarakan, dan anda akan datang tidak terlambat, jika perlu
siap sebelum waktunya. Mari kita memeriksa diri, sudahkah kita bersikap
demikian di dalam ‘pertemuan’ kita dengan Tuhan di dalam liturgi. Karena
Tuhan jauh lebih mulia dan lebih penting daripada Bapak Presiden,
seharusnya persiapan kita jauh lebih baik daripada persiapan bertemu
dengan Presiden.
Untuk menyadari kedalaman arti misteri ini, kita harus mempersiapkan diri
dengan sungguh-sungguh sebelum mengambil bagian di dalam liturgi.
Persiapan ini dapat berbentuk: membaca dan merenungkan ayat kitab suci
pada hari itu, hening di sepanjang jalan menuju ke gereja, datang di
gereja lebih awal, berpuasa ( 1 jam sebelum menyambut Ekaristi dan
terutama berpuasa sebelum menerima sakramen Pembaptisan dan Penguatan),
memeriksa batin, mengaku dosa dalam sakramen Tobat sebelum menerima
Ekaristi.
Lalu, sewaktu mengikuti liturgi, kitapun harus senantiasa mengarahkan sikap hati
yang benar. Jika terjadi ‘pelanturan’, segeralah kita kembali
mengarahkan hati kepada Tuhan. Kita harus mengarahkan akal budi kita
untuk menerima dengan iman bahwa Yesus sendirilah yang bekerja melalui
liturgi, dan bahwa Roh KudusNya menghidupkan kata-kata doa dan teks
Sabda Tuhan yang diucapkan di dalam liturgi, sehingga menguduskan
tanda-tanda lahiriah yang dipergunakan di dalam liturgi untuk
mendatangkan rahmat Tuhan.
Sikap hati ini dapat diwujudkan pula dengan berpakaian yang sopan,
tidak ‘ngobrol’ pada saat mengikuti liturgi, dan tidak menyalakan hp/ mengangkat telpon di gereja. Sebab jika demikian dapat dipastikan bahwa hati kita tidak sepenuhnya terarah pada Tuhan.
St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa penyembahan yang sempurna itu mencakup dua hal, yaitu menerima dan memberikan berkat-berkat ilahi. ((Lihat St. Thomas Aquinas, Summa Theologica,
III, 63, 2.)) Di dalam liturgi, penyembahan kita kepada Tuhan mencapai
puncaknya, saat kita kita turut memberikan/ mempersembahkan diri kita
kepada Tuhan dan pada saat kita menerima buah dari penebusan Kristus
melalui Misteri Paska-Nya. Puncak liturgi adalah Ekaristi, di mana di
dalam Misteri Paska yang dihadirkan kembali itu, Kristus menjadi Imam
Agung, dan sekaligus Kurban penebus dosa. ((Lihat KGK 1348, 1364,1365.))
Dalam liturgi Ekaristi, kita sebagai anggota Tubuh Kristus seharusnya tidak hanya ‘menonton’ atau sekedar menerima, tetapi ikut mengambil bagian dalam peran Kristus
sebagai Imam Agung dan Kurban tersebut. Caranya adalah dengan turut
mempersembahkan diri kita, beserta segala ucapan syukur, suka duka,
pergumulan, dan pengharapan, untuk kita persatukan dengan kurban
Kristus. ((Lihat Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Sophia Institute Press, New Hampshire, 1960), p.73, “To
receive Communion is not only to receive, for it is a Treasure, but
also to give, and to give something that will make of you and the Victim
one gift. You cannot be one with the Victim without yourself being a
victim. Your motto should be: “I live for Jesus, and Jesus Christ lives
in me.”)) Setiap kali menghadiri misa, kita bawa segala kurban
persembahan diri kita untuk diangkat ke hadirat Tuhan, terutama pada
saat konsekrasi ((Doa Konsekrasi adalah saat imam mengangkat hosti dan
berkata “Terimalah dan makanlah….” Dan mengangkat piala, dan berkata
“Terimalah dan minumlah….”)), yaitu saat kurban roti dan anggur diubah
menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Dengan demikian kurban kita akan menjadi
satu dengan kurban Yesus. Oleh karena itu, liturgi menjadi penyembahan
yang sempurna karena Kristus yang adalah satu-satunya Imam Agung dan
Kurban yang sempurna, menyempurnakan segala penyembahan kita. Bersama
Yesus di dalam liturgi kita akan sungguh dapat menyembah Allah Bapa di
dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24), karena di dalam liturgi kuasa Roh
Kudus bekerja menghadirkan Kristus yang adalah Kebenaran itu sendiri.
Hal kehadiran Yesus tidak hanya terjadi dalam Ekaristi, tetapi juga
di dalam liturgi yang lain, yaitu Pembaptisan, Penguatan, Pengakuan
Dosa, Perkawinan, Tahbisan suci, dan Pengurapan orang sakit. Dalam
liturgi tersebut, kita harus berusaha untuk aktif berpartisipasi agar
dapat sungguh menghayati maknanya. Partisipasi aktif ini bukan saja dari
segi ikut menyanyi, atau membaca segala doa yang tertulis, melainkan
terutama partisipasi dari segi mengangkat hati dan jiwa untuk menyembah dan memuji Tuhan, dan meresapkan segala perkataan yang diucapkan di dalam hati.
Jadi, agar dapat menghayati liturgi, kita harus memusatkan perhatian
kita kepada Kristus, dan pada apa yang telah dilakukanNya bagi kita,
yaitu: oleh kasihNya yang tak terbatas, Kristus tidak menyayangkan
nyawa-Nya dan mau wafat bagi kita untuk menghapus dosa-dosa kita. Kita
bayangkan Yesus sendiri yang hadir di dalam liturgi dan berbicara
sendiri kepada kita. Dengan berfokus pada Kristus, kita akan memperoleh
kekuatan baru, sebab segala pergumulan kita akan nampak tak sebanding
dengan penderitaan-Nya. Kitapun akan dikuatkan di dalam pengharapan
karena percaya bahwa Roh Kudus yang sama, yang telah membangkitkan Yesus
dari kubur akan dapat pula membangkitkan kita dari pengaruh dosa dan
segala kesulitan kita.
Jika kita memusatkan hati dan pikiran pada Kristus, maka kita tidak
akan terlalu terpengaruh jika musik atau penyanyi di gereja kurang
sempurna, khotbah kurang bersemangat, kurang keakraban ataupun hawa
panas dan banyak nyamuk. Walaupun tentu saja, idealnya semua hal itu
sedapat mungkin diperbaiki. Kita bahkan dapat mempersembahkan kesetiaan
kita disamping segala ketidak sempurnaan itu- sebagai kurban yang murni
bagi Tuhan. Langkah berikutnya adalah, apa yang dapat kita lakukan untuk
turut membantu memperbaiki kondisi tersebut. Inilah salah satu cara
menghasilkan ‘buah’ dari penerimaan rahmat Tuhan yang kita terima
melalui liturgi.
Jadi sebagai karya Kristus, liturgi menjadi kegiatan Gereja di mana Kristus hadir dan membagikan rahmat-Nya,
((Lihat KGK 1071.)) yang menjadi sumber kehidupan rohani kita. Walaupun
demikian, liturgi harus didahului oleh pewartaan Injil, iman dan
pertobatan, ((Lihat Sacrosanctum Concillium, 9, KGK 1072.))
sebab tanpa ketiga hal tersebut akan sangat sulit bagi kita untuk
menghayati perayaan liturgi, apalagi menghasilkan buahnya dalam
kehidupan sehari-hari. Ibaratnya tak kenal maka tak sayang, maka jika
kita ingin menghayati liturgi, maka sudah selayaknya kita mengetahui
makna liturgi, menerimanya dengan iman dan menanggapinya dengan
pertobatan.
Liturgi yang bersumber pada Allah menjadi sumber dan puncak kegiatan Gereja.
Bersumber pada liturgi ini, Gereja menimba kekuatan untuk melaksanakan
pembaharuan di dalam Roh, misi perutusan, dan menjaga persatuan umat.
Maka jika kita mengalami ‘kemacetan ataupun percekcokan’ di dalam
kegiatan paroki, petunjuk praktis untuk memeriksa adalah: Sudah cukupkah
keterlibatan anggota dalam Ekaristi -tiap minggu atau jika mungkin
setiap hari? Adakah kedisiplinan anggota untuk mengaku dosa di dalam
Sakramen Tobat secara teratur, misalnya sebulan sekali? Walaupun
demikian, kehidupan rohani kita tidak terbatas hanya dari keikutsertaan
dalam liturgi, tetapi juga dari kehidupan doa yang benar (doa pribadi (Mat 6:6) dan doa tanpa henti (1Tes 5:17)). ((Lihat Sacrosanctum Concillium, 12))
Seperti telah diuraikan di atas: liturgi merupakan partisipasi kita di dalam doa Kristus
kepada Allah Bapa oleh kuasa Roh Kudus. Liturgi terutama Ekaristi yang
menghadirkan Misteri Paska Kristus merupakan peringatan akan karya Allah
Tritunggal untuk mendatangkan keselamatan bagi dunia. Maka liturgi
merupakan puncak kegiatan Gereja, dan sumber di mana kuasa Gereja
dicurahkan, ((Lihat Sacrosanctum Concillium, 10, dan KGK
1074.)) yaitu kehidupan baru di dalam Roh, keikutsertaan di dalam misi
perutusan Gereja dan pelayanan terhadap kesatuan Gereja. ((Lihat KGK
1072)) Jadi bagi kita umat beriman, terutama yang ikut ambil bagian di
dalam karya kerasulan awam, keikutsertaan di dalam liturgi merupakan
sesuatu yang utama. Tidak bisa kita melayani umat, jika kita sendiri
tidak diisi dan diperbaharui oleh rahmat Tuhan sendiri. Prinsipnya, “kita tidak bisa memberi, jika kita tidak terlebih dahulu menerima” rahmat yang dari Allah.
Rahmat Allah ini secara nyata kita terima melalui liturgi. Dalam hal
ini, Ekaristi memegang peranan penting karena di dalamnya rahmat yang
diberikan adalah Kristus sendiri. Kini tinggal giliran kita untuk
memeriksa diri dan mempersiapkan hati untuk menerima berkat rahmat itu.
Jika kita mempunyai sikap hati yang benar dan berpartisipasi aktif di
dalam liturgi, maka Tuhan sendiri akan memberkati dan menjadikan kita
anggota TubuhNya yang menghasilkan buah bagi kemuliaan nama-Nya. Menimba
bekal rohani melalui liturgi merupakan salah satu cara yang paling
nyata untuk menjawab undangan Tuhan Yesus, “Tinggallah di dalam Aku dan
Aku di dalam kamu…. Barang siapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam
dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat
apa-apa” (Yoh 15:4-5).
Sumber: http://www.katolisitas.org/apa-yang-harus-kuketahui-tentang-liturgi/
Pendahuluan
Pengertian liturgi
Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam
serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat
istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya
dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.”
((Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium, 7))
Allah Bapa: Sumber dan Tujuan Liturgi
Kristus Bekerja di dalam Liturgi
Roh Kudus dan Gereja di dalam Liturgi
Kristus mengajak kita ikut serta mengambil bagian dalam Misteri Keselamatan-Nya
Bagaimana sikap kita di dalam liturgi
Langkah #1: Mempersiapkan diri sebelum mengikuti liturgi dan mengarahkan hati sewaktu mengikuti liturgi
Langkah #2: Bersikap aktif: jangan hanya menerima tetapi juga memberi kepada Tuhan
Langkah #3: Jangan memusatkan perhatian pada diri sendiri tetapi pada Kristus
Liturgi adalah sumber kehidupan
Kesimpulan